Hakikat Hasil Belajar

Hakikat Hasil Belajar 

Seseorang yang dikatakan belajar pasti mengalami perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ini dipahami sebagai hasil dari belajar. Perubahan tingkah laku ini biasanya dinyatakan dalam bentuk serangkaian kemampuan-kemampuan yang dicapai siswa selama proses belajarnya. “Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia mengalami pengalaman belajarnya (Sudjana, 2005: 22)”. Melalui hal tersebut dapat dipahami bahwa belajar berkaitan erat dengan pengalaman belajar, karena siswa yang berada dalam proses belajar tentu mendapatkan pengalaman belajar. Oleh karena itu, dalam proses belajar perlu memperhatikan hal-hal lain diluar materi ajar. Hal tersebut diberikan semata-mata agar dapat mendukung pengalaman belajar siswa. Karena sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan yang hendak dicapai dalam hasil belajar tidak hanya berkaitan dengan penghafalan teori.

Lebih spesifik lagi, kemampuan-kemampuan yang dimaksud dalam hasil belajar dijelaskan oleh pernyataan berikut, ”hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau pikiran yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga tampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kualitatif (Siagian, 2012: 11)”. Melalui pendapat tersebut dapat dipahami, bahwa tolak ukur dari hasil belajar, meliputi perubahan yang terjadi pada pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Pendapat serupa terkait hasil belajar, dikemukakan oleh Anderson yang menyatakan bahwa, “karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotorik dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif (dalam Rasyid dan Mansur, 2008: 13)”. Ketiga ranah tersebut senantiasa menjadi ukuran untuk menilai hasil belajar, walaupun pada dasarnya masing-masing ranah memiliki perincian sejumlah aspek.

Pada sistem pendidikan formal, hasil belajar menjadi ukuran atas tercapainya tujuan dari proses belajar. Oleh karena itu, proses belajar perlu mendapatkan penilaian atau evaluasi untuk mengetahui ketercapaian tujuan dari proses belajar. “Hasil belajar adalah hal yang diperoleh seseorang yang melakukan proses belajar dengan skala penilaian yang telah ditetapkan dengan mengukur tingkat kesuksesan belajar yang biasanya dilakukan dengan bantuan tes (Suprijadi, 2010: 129)”. Melalui penilaian yang biasanya berbentuk tes, nantinya akan menunjukkan pencapaian siswa selama menjalani proses belajar.

Namun, perlu dipahami bahwa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik memiliki karakteristik tertentu sehingga tidak semua penilaian dapat dilakukan dengan tes. Aspek afektif dan psikomotorik biasanya dinilai secara non-tes, menggunakan skala sikap atau secara observasi, karena kaitannya dengan sikap dan nilai. ”Hasil belajar afektif dan psikomotorik ada yang tampak pada saat proses belajar-mengajar berlangsung dan ada pula yang baru tampak kemudian (setelah pengajaran diberikan) dalam praktek kehidupannya di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Sudjana, 2005: 33)”. Itulah sebabnya hasil belajar afektif dan psikomotorik sifatnya lebih luas, lebih sulit dipantau namun memiliki nilai yang sangat berarti bagi kehidupan siswa sebab dapat secara langsung mempengaruhi perilakunya. Karena alasan demikianlah, dalam proses pembelajaran lebih sering menilai aspek kognitif siswa.

Dengan demikian, berdasarkan berbagai pendapat mengenai hasil belajar yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah serangkaian kemampuan terukur yang dicapai oleh siswa sebagai hasil dari proses belajar.

Pengertian dan Hakikat Belajar

Pengertian dan Hakikat Belajar

Secara esensi belajar bukanlah proses yang mudah karena kaitannya dengan proses berpikir manusia hingga memunculkan perubahan perilaku. “Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan yang disadari (Sanjaya, 2011: 112)”. Melalui hal ini, dapat dipahami bahwa belajar merupakan hal yang kompleks karena berkaitan dengan aktivitas mental untuk mengelola informasi yang pada akhirnya menghasilkan perubahan.

”Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat disaksikan secara langsung (Sanjaya, 2011: 112)”. Perubahan tingkah laku yang dimaksudkan lebih mengarahkan pada perubahan yang terjadi pada kognisi atau pengetahuan seseorang. Sehingga untuk dapat mengetahui ada atau tidaknya perubahan kognisi seseorang yang telah melaksanakan proses belajar, hanya dapat diketahui melalui kegiatan evaluasi atau penilaian. 

Pendapat serupa mengenai belajar dinyatakan oleh Rustaman, “belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku hasil belajar pada diri individu, atau belajar diartikan sebagai perubahan konsepsi dan kebiasaan berpikir siswa (Rustaman, 2005: 5)”. Pandangan ini serupa dengan teori belajar konstruktivisme, karena konsepsi sendiri merupakan pikiran atau gagasan mengenai suatu hal yang bersifat spesifik dan individual. Teori belajar konstruktivis meyakini bahwa setiap siswa telah memiliki pengetahuan awal. Sehingga melalui proses belajar, akan terjadi perubahan perilaku, dalam hal ini perubahan yang terjadi dalam pengetahuan siswa.

Pandangan tentang belajar sebagai proses mengkonstruk pengetahuan diperkuat oleh sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa, “belajar bukanlah perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengetahuannya melalui proses asimilasi dan akomodasi (Budiningsih, 2005: 58)”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa proses belajar memungkinkan terjadinya perubahan kognisi yang terjadi secara asimilasi maupun akomodasi.“Apabila hal baru yang dipelajari itu sesuai dengan yang sudah dipelajarinya, siswa akan menerapkan pada situasi baru, itulah yang disebut asimilasi. Sedangkan, apabila pengetahuan baru itu sama sekali berbeda dengan yang sudah dimilikinya, siswa perlu mengubahnya, itulah yang dinamakan akomodasi (Rustaman, 2005: 33)”. Sehingga dapat dipahami bahwa perubahan tingkah laku sebagai hasil dari proses belajar ditekankan pada perubahan pengetahuan, yakni pengetahuan awal yang menjadi dasar secara berangsur-angsur terjadi perubahan melalui proses belajar.

Pandangan lain menyatakan bahwa,
“Belajar merupakan aktivitas mental (psikis) yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan yang bersifat relatif konstan. Belajar memiliki ciri-ciri: 1) Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku tersebut bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), maupun nilai dan sikap (afektif). 2) Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja, melainkan menetap atau dapat disimpan. 3) Perubahan itu tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dengan usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan. 4) Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik atau kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan. (Siregar, dkk,, 2010: 3)”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami, bahwa belajar memanglah proses yang terjadi dalam psikis seseorang, yang tentu saja akan menghasilkan perubahan secara kognisi. Namun hasil dari proses belajar tidak hanya berkaitan dengan kognisi, melainkan perubahan pada kognisilah yang menjadi dasar untuk merubah keterampilan serta sikap seseorang. “Seseorang yang berubah tingkat kognisinya sebenarnya dalam keadaan tertentu telah berubah pula sikap dan perilakunya (Sudjana, 2005: 31)”. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Arikunto yang menyatakan, “seorang siswa yang menempuh proses belajar, idealnya ditandai oleh munculnya pengalaman-pengalaman psikologis baru yang positif, yang diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sikap dan kecakapan yang konstruktif,  bukan kecakapan yang destruktif (merusak) (Arikunto, 2006:  98)”.

Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental untuk mengkonstruk pengetahuan yang terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sehingga menimbulkan perubahan secara kognitif, psikomotorik dan afektif yang mengarah pada hal positif.

 

Resensi Film Pendidikan




Judul               : Freedom Writers
Produksi          : Paramount Picture
Tahun              : 2007

Freedom Writers merupakan sebuah film yang berasal dari Amerika. Film ini merupakan adaptasi dari sebuah buku, dimana buku tersebut merupakan kumpulan buku harian siswa-siswa di ruang 203 sekolah menengah atas Woodrow Wilson H.S. Film ini bertemakan pendidikan dengan latar belakang kondisi sosial yang sangat kacau di antara tahun 1992-1994. Pada tahun tersebut kerusuhan, kekerasan antar kelompok atau geng yang mengataskanamakan rasial menjadi pemandangan yang biasa. Tidak ada perdamaian, tidak ada ketenangan! Semua orang menjadi sangat resah, sangat waspada, karena adanya perasaan saling mencurigai. Unsur pendidikan yang kental dari film ini adalah dedikasi seorang guru yang berhasil dalam mendidik siswa-siswanya dengan mengajak siswa-siswanya untuk membaca buku-buku yang inspiratif, menulis kreatif dan berani berpendapat mengenai gagasan-gagasan mereka.

Film ini diawali dengan kejadian yang dialami oleh salah satu murid dari ruang 203, yaitu Eva. Eva adalah seorang gadis berkulit gelap yang berasal dari ras Amerika Latin. Ia menceritakan konflik sosial yang dialaminya. Ia menceritakan ketegangan yang terjadi di lingkungan sosialnya, ia juga menjelaskan bahwa konflik tersebut terjadi pula di lingkungan sekolahnya. Sekolah menjadi tempat berkumpul dan berkomunikasinya masing-masing kelompok. Singkat cerita, di tahun 1994 hadirlah seorang guru bahasa baru bernama Erin Gruwell. Miss Gruwell mendapatkan kesempatan mengajar di ruang 203, ruang kelas Eva. Pada mulanya Miss. Gruwell begitu antusias untuk mengajar para siswa, namun yang terjadi di luar dugaan. Miss Gruwell mendapati siswa-siswanya di kelas sangat acuh terhadapnya dan sering kali terjadi perkelahian antar kelompok di kelas. Mendapati semua itu, sebagai seorang guru, Miss. Gruwell berupaya mencari solusi yang tepat untuk dapat mengajar dengan cara yang tepat di kelas tersebut. Miss. Gruwell tidak menyampaikan materi pelajaran secara klasikal, karena ia tahu akan sia-sia. Tujuan utama dari kegiatan belajar mengajarnya adalah untuk menyatukan kelompok-kelompok yang ada di kelas untuk saling bergabung, saling berkomunikasi dan tidak ada kelompok yang merendahkan kelompok lain. 

Dalam proses pembelajarannya, Mrs. Gruwell selalu menyediakan buku-buku inspiratif dan juga buku harian untuk setiap siswanya. Melalui buku harian, Miss. Gruwell berupaya untuk mengetahui apa yang dirasakan, apa yang dialami dan apa yang dibutuhkan oleh siswa-siswanya. Kebulatan tekat dalam mendidik siswa-siswanya agar menjadi lebih baik, rupanya harus dibayar mahal oleh Miss. Gruwell. Ia harus merelakan kehidupan rumah tangganya hancur berantakan. Kejadian tersebut membuat Miss. Gruwell sangat terpukul, namun ia segera bangkit dan semakin fokus terhadap  tujuan yang hendak dicapainya. 

Dengan beragam upaya, akhirnya ruang 203 menjadi kelas yang menyenangkan, kelas yang hangat dengan nuansa persaudaraan bahkan kekeluargaan. Kepribadian yang baik dari para siswa mulai terbentuk yang diimbangi juga dengan kemampuan dalam bidang akademik. Buku harian yang diberikan Mrs. Gruwell tetap ditulis oleh para siswa hingga akhir tahun pembelajaran. Sampai akhirnya, sebelum menyelesaikan studinya, siswa-siswa ruang 203 diminta untuk menyusun seluruh buku hariannya yang kemudian akan dibukukan. Judul dari kumpulan buku harian tersebut adalah “The Freedom Writers Diary” yang tanpa disangka dapat diterbitkan pada tahun 1999. Akhirnya, film ini ditutup dengan sangat manis, siswa-siswa ruang 203 mampu menunjukan keunggulannya dengan tingkat kelulusan 100% dan yang lebih mempesona adalah beberapa siswa mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. 

Film ini menjadi salah satu film yang mampu menginspirasi dan menjadi refleksi. Dedikasi dari seorang guru yang bukan hanya memberikan pengajaran untuk dapat menuntaskan materi ajar, melainkan berupaya membentuk pola pikir dan kepribadian siswa. Kebobrokan yang terjadi di lingkungan luar menjadi tantangan baginya untuk menyelamatkan kepribadian-kepribadian yang seharusnya lebih manusiawi. Pola pikir dan kepribadian yang lebih baik bukan hanya berhasil dalam ruang lingkup kelas, melainkan teraplikasikan juga dalam kehidupan sehari-hari siswa. Itulah pendidikan yang sesungguhnya.

Resume Buku Pendidikan



Resume Buku Pendidikan


Judul                                  : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis                               : Paulo Freire
Penerbit                             : LP3ES Indonesia
Cetakan/Tahun                   : Ketujuh/ 2013
Tebal                                 : 221 halaman

Berangkat dari sebuah realitas sosial, yakni penindasan memunculkan permasalahan mendasar yang kemudian mempengaruhi beragam aspek kehidupan. Penindasan dalam hal ini muncul sebagai sebuah pengekangan dan pengingkaran terhadap harkat kemanusiaan, yang pada dasarnya merupakan organisme utuh dengan beragam kemampuan yang mampu memberi pengaruh pada dunia. Namun, kepentingan tertentu menjadikan lumpuhnya sisi kemanusiaan tersebut, yang akhirnya memunculkan dehumanisasi. Dehumanisasi ini dapat dipahami melalui adanya pembagian masyarakat dalam dua kelompok besar yaitu antara kelompok penindas dan kelompok tertindas. Dalam hal ini kelompok tertindas dipahami sebagai masyarakat yang dipasung kemerdekaan berpikirnya, sehingga tidak mampu mengemukakan gagasannya, tunduk-patuh atas apa yang diberikan padanya, tidak mampu memahami dan menilai realitasnya, tidak mampu menyusun realitas yang lebih baik dan yang lebih fatal ia tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya berada dalam ketertindasan. Padahal fitrah bukanlah makhluk yang hanya beradaptasi serta tunduk-patuh pada kekuatan yang membatasi ruang geraknya.
Fitrah manusia yang telah dibenamkan tersebut, menjadi sebuah hal yang perlu diperjuangkan. Penindasan tidak semestinya dilanjutkan atas nama memuluskan kepentingan kelompok tertentu. Penindasan harus diputus mata rantainya dengan semangat humanisasi, yang diperjuangkan bukan oleh orang lain melainkan diperjuangkan sendiri oleh kaum tertindas itu sendiri. Kaum tertindas perlu memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah manusia juga yang mampu memberikan pengaruh, sebagaimana fitrah manusia. Oleh karena itu, diperlukanlah pendidikan bagi kaum tertindas untuk dapat menguak tabir yang selama ini membelenggunya. Karena bagaimana pun keadaan masyarakat akan selalu berkaitan dengan dunia pendidikan yang diselenggarakannya. Hal ini sangat logis, karena pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia, yang artinya melalui pendidikanlah saharusnya humanisasi dapat kembali pada hakikatnya. Dengan demikian, harapan yang akan muncul adalah lahirnya manusia baru yang berasal dari pendidikan yang humanis, yakni manusia baru yang bukan berbalik kutub dari kaum tertindas menjadi kaum penindas. Manusia baru yang diharapkan adalah manusia yang benar-benar mampu menjunjung nilai-nilai humanis untuk bersama-sama memberikan pengaruh positif bagi lingkungan.
Terbenamnya sisi kemanusiaan, yang muncul melalui penindasan pada kenyataannya dapat berlangsung secara terus-menerus, terjadi karena diawetkan melalui sistem pendidikan yang berlangsung pada saat itu, yakni sistem pendidikan yang menekankan pada hafalan. Sistem yang demikian dikatakan sebagai “pendidikan gaya bank”. Pendidikan gaya bank menganalogikan kepala siswa seperti rekening bank yang siap diisi oleh koin-koin pengetahuan. Sehingga keberhasilan guru dalam mengajar diketahui melalui seberapa banyak siswa mampu menampung koin-koin pengetahuan yang telah ditabungkan oleh guru. Dengan demikian, pendidikan sudah mengenalkan pada dehumanisasi itu sendiri, karena menganggap siswa tidak berdaya, tidak memiliki pengetahuan apa-apa sehingga perlu mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh guru. Akhirnya manusia yang dihasilkan dari sistem pendidikan yang demikian adalah manusia pembeo, manusia yang hanya mampu beradaptasi pada lingkungannya tanpa memiliki aspek kritis untuk mengkritisi realitasnya apalagi mengadakan perbaikan.
Pada akhirnya, memanusiakan manusia menjadi kata kunci untuk melakukan perubahan secara mendasar atas realitas yang terjadi. Karenanya sebagai manusia yang fitrahnya telah dilumpuhkan, masyarakat hasil pendidikan gaya bank atau masyarakat tertindas itu, perlu diberi kepercayaan untuk menyusun dan menyelenggarakan pendidikannya. Sistem pendidikan yang perlu dibangun adalah sistem pendidikan humanis, hadap masalah. Pendidikan hadap masalah mencoba membukakan tabir dari realitas yang selama ini tertutup untuk kaum tertindas. Sistem pendidikan hadap masalah menjadi sistem pendidikan yang tepat, karena berawal dari berbagai proses pengamatan, pengkajian dan penelitian terlebih dahulu. Sehingga sistem pendidikan hadap masalah mencoba mengintegrasikan dengan realitas masyarakat. Dengan demikian, apa yang dipelajari tidak berbenturan dengan realitas, bahkan apa yang dipelajari mampu memacu lahirnya solusi-solusi bagi perbaikan realitas. Hal ini diawali dengan suasana belajar antara guru dan siswa yang tidak berjarak, karena keduanya menjadi subyek yang bersama-sama memahami pengetahuan bukan lagi sebagai mantera (doxa) tetapi sebagai pengetahuan yang sejati (logos). Karenanya akan ada aktivitas dialogis antara guru dan siswa dalam menguakan realitas dalam kerangka ilmu pengetahuan. Hal ini mendobrak pemahaman akan aktivitas anti dialogis yang terjadi pada pendidikan gaya bank, yang menganggap rendah potensi siswa. Melalui sistem pendidikan yang revolusioner tersebut, masyarakat dikenalkan pada aktivitas refleksi dan aksi dalam dinamikanya. Refleksi dan aksi menjadi bagian dari proses pembelajaran, untuk merenungi apa yang telah dipelajari sekaligus menerapkan hasil dari proses pembelajaran, sebagai bentuk dari lahirnya kesadaran kritis masyarakat. Proses pembelajaran yang demikian menjadi upaya untuk memahami realitas hari ini dan masa depan, sehingga manusia menjadi makhluk yang mampu melampaui dirinya untuk melangkah maju dan memandang ke depan guna perbaikan.
Dengan demikian pendidikan humanis semestinya diselenggarakan untuk membebaskan manusia dari belenggu pembodohan, pengekangan dalam berpikir. Pendidikan yang pada hakikatnya memanusiakan manusia tidak dapat lagi diartikan sebagai alat penindasan, yang mengekalkan adanya kesenjangan-kesenjangan antar manusia. Pendidikan humanis dengan proses dialogis yang mengajak untuk melakukan refleksi dan aksi demi terciptanya kesadaran kritis, dipercaya sebagai pendidikan yang mampu membebaskan manusia dari belenggu pembodohan, yang mengembalikan manusia pada fitrahnya. Pendidikan humanis menjadi sebuah tawaran yang positif karena berasal dari kondisi masyarakat dan diselenggarakan bersama masyarakat untuk menciptakan kebudayaan baru dengan manusia baru yang mampu memberi kemaslahatan.