Resume Buku Pendidikan
Judul : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis : Paulo Freire
Penerbit : LP3ES Indonesia
Cetakan/Tahun : Ketujuh/
2013
Tebal : 221 halaman
Berangkat dari
sebuah realitas sosial, yakni penindasan memunculkan permasalahan mendasar yang
kemudian mempengaruhi beragam aspek kehidupan. Penindasan dalam hal ini muncul
sebagai sebuah pengekangan dan pengingkaran terhadap harkat kemanusiaan, yang
pada dasarnya merupakan organisme utuh dengan beragam kemampuan yang mampu
memberi pengaruh pada dunia. Namun, kepentingan tertentu menjadikan lumpuhnya
sisi kemanusiaan tersebut, yang akhirnya memunculkan dehumanisasi. Dehumanisasi
ini dapat dipahami melalui adanya pembagian masyarakat dalam dua kelompok besar
yaitu antara kelompok penindas dan kelompok tertindas. Dalam hal ini kelompok
tertindas dipahami sebagai masyarakat yang dipasung kemerdekaan berpikirnya, sehingga
tidak mampu mengemukakan gagasannya, tunduk-patuh atas apa yang diberikan
padanya, tidak mampu memahami dan menilai realitasnya, tidak mampu menyusun
realitas yang lebih baik dan yang lebih fatal ia tidak memiliki kesadaran bahwa
dirinya berada dalam ketertindasan. Padahal fitrah bukanlah makhluk yang hanya
beradaptasi serta tunduk-patuh pada kekuatan yang membatasi ruang geraknya.
Fitrah manusia yang telah dibenamkan tersebut,
menjadi sebuah hal yang perlu diperjuangkan. Penindasan tidak semestinya
dilanjutkan atas nama memuluskan kepentingan kelompok tertentu. Penindasan
harus diputus mata rantainya dengan semangat humanisasi, yang diperjuangkan
bukan oleh orang lain melainkan diperjuangkan sendiri oleh kaum tertindas itu
sendiri. Kaum tertindas perlu memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah manusia
juga yang mampu memberikan pengaruh, sebagaimana fitrah manusia. Oleh karena
itu, diperlukanlah pendidikan bagi kaum tertindas untuk dapat menguak tabir
yang selama ini membelenggunya. Karena bagaimana pun keadaan masyarakat akan
selalu berkaitan dengan dunia pendidikan yang diselenggarakannya. Hal ini
sangat logis, karena pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia, yang
artinya melalui pendidikanlah saharusnya humanisasi dapat kembali pada
hakikatnya. Dengan demikian, harapan yang akan muncul adalah lahirnya manusia
baru yang berasal dari pendidikan yang humanis, yakni manusia baru yang bukan
berbalik kutub dari kaum tertindas menjadi kaum penindas. Manusia baru yang
diharapkan adalah manusia yang benar-benar mampu menjunjung nilai-nilai humanis
untuk bersama-sama memberikan pengaruh positif bagi lingkungan.
Terbenamnya sisi
kemanusiaan, yang muncul melalui penindasan pada kenyataannya dapat berlangsung
secara terus-menerus, terjadi karena diawetkan melalui sistem pendidikan yang
berlangsung pada saat itu, yakni sistem pendidikan yang menekankan pada
hafalan. Sistem yang demikian dikatakan sebagai “pendidikan gaya bank”. Pendidikan
gaya bank menganalogikan kepala siswa seperti rekening bank yang siap diisi
oleh koin-koin pengetahuan. Sehingga keberhasilan guru dalam mengajar diketahui
melalui seberapa banyak siswa mampu menampung koin-koin pengetahuan yang telah
ditabungkan oleh guru. Dengan demikian, pendidikan sudah mengenalkan pada
dehumanisasi itu sendiri, karena menganggap siswa tidak berdaya, tidak memiliki
pengetahuan apa-apa sehingga perlu mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh
guru. Akhirnya manusia yang dihasilkan dari sistem pendidikan yang demikian
adalah manusia pembeo, manusia yang hanya mampu beradaptasi pada lingkungannya
tanpa memiliki aspek kritis untuk mengkritisi realitasnya apalagi mengadakan
perbaikan.
Pada akhirnya, memanusiakan
manusia menjadi kata kunci untuk melakukan perubahan secara mendasar atas
realitas yang terjadi. Karenanya sebagai manusia yang fitrahnya telah dilumpuhkan,
masyarakat hasil pendidikan gaya bank atau masyarakat tertindas itu, perlu
diberi kepercayaan untuk menyusun dan menyelenggarakan pendidikannya. Sistem
pendidikan yang perlu dibangun adalah sistem pendidikan humanis, hadap masalah.
Pendidikan hadap masalah mencoba membukakan tabir dari realitas yang selama ini
tertutup untuk kaum tertindas. Sistem pendidikan hadap masalah menjadi sistem
pendidikan yang tepat, karena berawal dari berbagai proses pengamatan,
pengkajian dan penelitian terlebih dahulu. Sehingga sistem pendidikan hadap
masalah mencoba mengintegrasikan dengan realitas masyarakat. Dengan demikian,
apa yang dipelajari tidak berbenturan dengan realitas, bahkan apa yang
dipelajari mampu memacu lahirnya solusi-solusi bagi perbaikan realitas. Hal ini
diawali dengan suasana belajar antara guru dan siswa yang tidak berjarak,
karena keduanya menjadi subyek yang bersama-sama memahami pengetahuan bukan
lagi sebagai mantera (doxa) tetapi
sebagai pengetahuan yang sejati (logos).
Karenanya akan ada aktivitas dialogis antara guru dan siswa dalam menguakan
realitas dalam kerangka ilmu pengetahuan. Hal ini mendobrak pemahaman akan
aktivitas anti dialogis yang terjadi pada pendidikan gaya bank, yang menganggap
rendah potensi siswa. Melalui sistem pendidikan yang revolusioner tersebut, masyarakat
dikenalkan pada aktivitas refleksi dan aksi dalam dinamikanya. Refleksi dan
aksi menjadi bagian dari proses pembelajaran, untuk merenungi apa yang telah
dipelajari sekaligus menerapkan hasil dari proses pembelajaran, sebagai bentuk
dari lahirnya kesadaran kritis masyarakat. Proses pembelajaran yang demikian
menjadi upaya untuk memahami realitas hari ini dan masa depan, sehingga manusia
menjadi makhluk yang mampu melampaui dirinya untuk melangkah maju dan memandang
ke depan guna perbaikan.
Dengan demikian pendidikan
humanis semestinya diselenggarakan untuk membebaskan manusia dari belenggu
pembodohan, pengekangan dalam berpikir. Pendidikan yang pada hakikatnya
memanusiakan manusia tidak dapat lagi diartikan sebagai alat penindasan, yang
mengekalkan adanya kesenjangan-kesenjangan antar manusia. Pendidikan humanis
dengan proses dialogis yang mengajak untuk melakukan refleksi dan aksi demi
terciptanya kesadaran kritis, dipercaya sebagai pendidikan yang mampu
membebaskan manusia dari belenggu pembodohan, yang mengembalikan manusia pada
fitrahnya. Pendidikan humanis menjadi sebuah tawaran yang positif karena
berasal dari kondisi masyarakat dan diselenggarakan bersama masyarakat untuk
menciptakan kebudayaan baru dengan manusia baru yang mampu memberi kemaslahatan.
0 komentar:
Posting Komentar